Malaysia adalah salah satu negara ASEAN yang cukup menonjol dalam usaha mengembangkan sumberdaya manusianya. Bahkan menginjak millenium kedua, negara jiran itu ingin meniru Inggris yang menjadikan pendidikan sebagai komoditi layak jual. Apa kiat-kiat negara multietnis itu dalam bidang pendidikan?
Pada masa-masa pra kemerdekaan, model-model pendidikan dasar dan menengah di Malaysia terbentuk berdasarkan ras, yaitu Melayu, Cina, dan India, serta satu model pendidikan untuk semua ras. Sekolah Melayu khusus untuk ras Melayu dan gratis. Sekolah untuk semua ras disubsidi pemerintah. Sedangkan sekolah India dan Cina swasta penuh.
Saat masih dijajah Inggris, standar pendidikan di Malaysia mengikuti sekolah-sekolah di Inggris. Namun sesudah merdeka, persoalan menjadi semakin kompleks. Langkah pertama yang dilakukan adalah nasionalisasi sekolah-sekolah swasta yang berdasarkan ras itu. Masalah utama yang dihadapi adalah minimnya sumberdaya manusia (SDM). Selain itu, karena masyarakat yang multirasial, bahasa Melayu belum menjadi bahasa resmi negara.
Langkah pertama yang dilakukan Malaysia adalah mencetak guru sebanyak-banyaknya untuk semua jenjang sekolah, dan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar untuk semua jenjang pendidikan. Untuk mencetak guru, khususnya guru sekolah menengah, diperlukan pendidikan guru di tingkat perguruan tinggi. Tapi masalahnya, pada tahun 1959, negara itu hanya mempunyai satu perguruan tinggi. Untuk mengatasi itu Departemen Pendidikan mendirikan kolej-kolej untuk pembibitan guru (Teacher Training Colleges). Kolej-kolej inilah yang menyediakan pendidikan calon guru (pre-service training) dan pendidikan guru (in-service training) sekolah rendah dan menengah. Dalam kurun waktu relatif singkat, tepatnya pada tahun 1974, Malaysia telah mempunyai 14 kolej dengan jumlah peserta seluruhnya 5.524 mahasiswa. Suatu jumlah yang cukup banyak waktu itu.
Training guru-guru tingkat menengah akhirnya dilaksanakan di Fakultas Pendidikan Universitas Malaya. Sekaligus untuk program diploma, BA, MA dan doktor bagi yang berminat. Dengan membuat kolej-kolej itu, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan bahwa untuk mengajar di sekolah dan lembaga pendidikan tingkat apapun, seseorang haruslah guru terdaftar, atau memiliki ijin sementara mengajar, atau mahasiswa keluaran Teacher Training College.
Selain itu juga terdapat training untuk guru-guru pembina mata pelajaran di sekolah-sekolah. Khususnya untuk guru-guru mata pelajaran matematika, sains, bahasa Melayu, pendidikan kesenian, pendidikan jasmani, dan pengembangan kurikulum. Karena terbatasnya Teacher Training College maka kementerian-kementerian diberi tugas untuk melaksanakan training guru-guru.
Untuk mengatasi miskinnya penguasaan bahasa Melayu dikalangan warga negara Malaysia, pada tahun 1961 pemerintah mengeluarkan peraturan agar bahasa Melayu digunakan menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Tapi, aturan ini perlahan-lahan baru dilaksanakan pada tahun 1968. Targetnya, tahun 1972 untuk semua sekolah dasar, 1982 untuk sekolah menengah, dan tahun 1983 untuk semua perguruan tinggi. Maka tidak heran jika pada tahun 60-an guru-guru sekolah menengah di Malaysia banyak yang didatangkan dari Indonesia.
Positifnya, karena bahasa nasional belum ada, maka medium komunikasi antar-ras adalah bahasa Inggris. Inilah sebabnya penguasaan bahasa Inggris orang Malaysia rata-rata di atas orang Indonesia. Tapi tidak perlu heran jika hingga kini tidak semua orang Malaysia (khususnya India dan Cina) bisa berbahasa Melayu dengan baik dan benar.
Kebijakan pemerintah yang cukup berani adalah menerapkan strategi Universal Free Primary Education, yaitu wajib belajar untuk sekolah dasar atau pendidikan gratis untuk semua warga negara Malaysia. Kebijakan ini dianggap berani karena di Indonesia saja hal ini baru dicanangkan pada tahun 1994. Jika di Indonesia kebijakan pendidikan gratis ini terlaksana setelah 50 tahun merdeka, di Malaysia pendidikan gratis sejak tahun 1962, yaitu saat negara itu baru berumur 5 tahun.
Kebijakan “berani” lain yang dilakukan Pemerintah Malaysia di bidang pendidikan adalah pemberian beasiswa untuk belajar di dalam ataupun di luar negeri. Policy pendidikan nasional Malaysia adalah bahwa tidak ada satupun laki-laki atau perempuan warga negara Malaysia yang terhalang meneruskan pendidikan tingkat tinggi, baik di kolej maupun di universtias, di dalam maupun di luar negeri, karena kekurangan dana.
Untuk melaksanakan policy ini pemerintah Malaysia melalui Kementerian Pendidikan memanfaatkan beberapa sumber dana. Pada mulanya sumbernya dari Commenwealth and Colombo Plan Countries, Yayasan Tengku Abdul Rahman, dan Kementerian Pendidikan sendiri.
Beasiswa yang ditawarkan Kementerian Pendidikan termasuk bidang-bidang seni, sains, pertanian, dan ekonomi. Selain itu juga bidang teknik pelatihan guru-guru, pelatihan guru teknik, dan teknologi pertanian. Beasiswa Commonwealth and Colombo Plan bisa untuk semua bidang di tingkat magister (S2), dan post-professional training, serta bisa ditempuh di Inggris, Kanada, India, Australia, dan negara-negara Commonwealth lainnya. Sedangkan beasiswa dari Yayasan Tengku Abdul Rahman diberikan dalam bentuk pinjaman (loan) untuk tingkat S1 dan S2. Artinya setelah mahasiswa tamat kuliah diharapkan dapat mengembalikan dana yang telah digunakan.
Selain itu masih ada sumber beasiswa lain seperti Commonwealth Education Study Fellow, Colombo Plan Scholarship, Shell Scholarship, Bank Negara Scholarship, dsb. Bahkan beasiswa model Yayasan Tengku Abdul Rahman itu kini dilanjutkan oleh Pemerintah Malaysia, dan negeri-negeri bagian secara efektif. Dengan kebijakan ini maka jumlah mahasiswa Malaysia yang belajar di luar negeri bertambah dari tahun ke tahun, dan sudah tentu SDM berkualitas di negara itu makin bertambah. Pada tahun 1971 misalnya, mahasiswa Malaysia yang belajar di Inggris berjumlah 6.900 orang. Tahun 1972 jumlah itu meningkat menjadi 7.100 orang. Demikian pula jumlah mahasiswa di negara-negara Amerika, Australia, New Zealand, dan lain-lain.
Dengan strategi pemberian beasiswa atau pinjaman ini, kesempatan warga negara Malaysia untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya terbuka lebar. Pemerintah Malaysia dengan begitu dapat mengatasi problem SDM-nya. Jika saat merdeka Malaysia hanya memiliki satu universitas, maka tak lebih dari dua dekade, yakni tahun 1974, ia telah memiliki lima universitas besar. Kini, tahun 2005, jumlah universtias dan kolej di seluruh Malaysia lebih dari 50.
Selain keberanian mengirimkan warganya belajar ke negara-negara maju, Malaysia juga tidak segan-segan menyewa tenaga-tenaga asing dalam berbagai bidang. Salah satu contohnya adalah ketika Malasyia mendirikan International Islamic University Malaysia (IIUM) dan International Islamic Institute of Islamic Thought and Civlization (ISTAC) pada akhir tahun 80-an.
Pada awal IIUM berdiri, dosen-dosen bidang studi Islam asal Malaysia masih belum banyak, sehingga terpaksa mengontrak dosen-dosen dari negara-negara Timur Tengah, Turki, Pakistan, India, Sudan, Yaman, dsb. Saat itu jumlah dosen asing hampir mencapai 70%. Universitas ini sebenarnya adalah proyek ambisius Malaysia untuk pengembangan SDM bagi dunia Islam. Sehingga pada zaman Anwar Ibrahim, IIUM memberi beasiswa (baik dalam bentuk grant ataupun loan) kepada seluruh mahasiswanya. Hal ini dimaksudkan untuk menarik minat mahasiswa dari negara-negara Islam Beasiswa diambilkan dari pajak perusahaan swasta maupun BUMN dan dari muhsinin di negara-negara Timur Tengah.
Model yang sama juga dilakukan oleh Prof Syed Naquib al-Attas di ISTAC. Al-Attas, cendekiawan Malaysia, malah berani mengontrak dosen-dosen yang berkualitas kelas dunia dengan bayaran tinggi. Untuk dosen bahasa Arab, ia merekrut Profesor Hasan Nagar, dosen bahasa Arab di Universitas Chicago, AS. Sedangkan untuk mengajar filsafat Islam, ia mengontrak Profesor Alparslan Acikgenc, dosen Middle East Technical University (METU) Turki. Untuk mengajar ilmu kedokteran Islam, ia menyewa Prof Sami Hamarneh, satu-satunya pakar kedokteran Islam di dunia. Untuk mengajar ilmu psikologi Islam ia merekrut Prof Malik Badri, pakar psikologi Islam tingkat dunia. Bahkan orientalis kelas dunia seperti Hans Daiber, Paul Lettink dan lain-lain pernah mengajar di sini. Namun pada saat yang sama al-Attas juga menyiapkan kader-kader calon pengganti dosen-dosen luar yang hanya dikontrak sementara itu.
Selain dosen berkualitas, perpustakaannya diisi dengan buku-buku yang lengkap dan berkualitas. Selain memiliki buku lengkap tentang kajian Timur dan Barat, ISTAC juga memiliki koleksi manuskrip yang cukup banyak. Koleksi manuskrip Mingana Collection yang termasuk terlengkap di Inggris kebanyakan telah dikopi ISTAC. Demikian pula koleksi manuskrip di Bosnia. Hans Daiber, orientalis kawakan dari Jerman, mengakui bahwa perpustakaan Fakultas Oriental Studies di Frankfurt masih kalah lengkap dibanding perpustakaan ISTAC.
Dengan berdirinya International Islamic University Malaysia (IIUM) ini, kualitas universitas-universitas negeri di Malaysia ikut berkembang pula. Mereka antara lain Universitas Malaya, Universtias Kebangsaan Malaysia, Universitas Sains Malaysia, Universitas Putera Malaysia, Universitas Tun Abdu Razak, dan Universitas Teknologi Malaysia. Jika pada tahun 1970-an jumlah mahasiswa Malaysia di Indonesia mencapai 1.000 orang kini jumlah mahasiswa Indonesia di negeri jiran itu mencapai 5.000 orang lebih. Ini semua menunjukkan, pembangunan SDM di negeri jiran ini ditangani secara serius dan di sinilah sejatinya kekuatan negara ini. Wallahu a’lam. (www.esqmagazine.com)
Pada masa-masa pra kemerdekaan, model-model pendidikan dasar dan menengah di Malaysia terbentuk berdasarkan ras, yaitu Melayu, Cina, dan India, serta satu model pendidikan untuk semua ras. Sekolah Melayu khusus untuk ras Melayu dan gratis. Sekolah untuk semua ras disubsidi pemerintah. Sedangkan sekolah India dan Cina swasta penuh.
Saat masih dijajah Inggris, standar pendidikan di Malaysia mengikuti sekolah-sekolah di Inggris. Namun sesudah merdeka, persoalan menjadi semakin kompleks. Langkah pertama yang dilakukan adalah nasionalisasi sekolah-sekolah swasta yang berdasarkan ras itu. Masalah utama yang dihadapi adalah minimnya sumberdaya manusia (SDM). Selain itu, karena masyarakat yang multirasial, bahasa Melayu belum menjadi bahasa resmi negara.
Langkah pertama yang dilakukan Malaysia adalah mencetak guru sebanyak-banyaknya untuk semua jenjang sekolah, dan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar untuk semua jenjang pendidikan. Untuk mencetak guru, khususnya guru sekolah menengah, diperlukan pendidikan guru di tingkat perguruan tinggi. Tapi masalahnya, pada tahun 1959, negara itu hanya mempunyai satu perguruan tinggi. Untuk mengatasi itu Departemen Pendidikan mendirikan kolej-kolej untuk pembibitan guru (Teacher Training Colleges). Kolej-kolej inilah yang menyediakan pendidikan calon guru (pre-service training) dan pendidikan guru (in-service training) sekolah rendah dan menengah. Dalam kurun waktu relatif singkat, tepatnya pada tahun 1974, Malaysia telah mempunyai 14 kolej dengan jumlah peserta seluruhnya 5.524 mahasiswa. Suatu jumlah yang cukup banyak waktu itu.
Training guru-guru tingkat menengah akhirnya dilaksanakan di Fakultas Pendidikan Universitas Malaya. Sekaligus untuk program diploma, BA, MA dan doktor bagi yang berminat. Dengan membuat kolej-kolej itu, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan bahwa untuk mengajar di sekolah dan lembaga pendidikan tingkat apapun, seseorang haruslah guru terdaftar, atau memiliki ijin sementara mengajar, atau mahasiswa keluaran Teacher Training College.
Selain itu juga terdapat training untuk guru-guru pembina mata pelajaran di sekolah-sekolah. Khususnya untuk guru-guru mata pelajaran matematika, sains, bahasa Melayu, pendidikan kesenian, pendidikan jasmani, dan pengembangan kurikulum. Karena terbatasnya Teacher Training College maka kementerian-kementerian diberi tugas untuk melaksanakan training guru-guru.
Untuk mengatasi miskinnya penguasaan bahasa Melayu dikalangan warga negara Malaysia, pada tahun 1961 pemerintah mengeluarkan peraturan agar bahasa Melayu digunakan menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Tapi, aturan ini perlahan-lahan baru dilaksanakan pada tahun 1968. Targetnya, tahun 1972 untuk semua sekolah dasar, 1982 untuk sekolah menengah, dan tahun 1983 untuk semua perguruan tinggi. Maka tidak heran jika pada tahun 60-an guru-guru sekolah menengah di Malaysia banyak yang didatangkan dari Indonesia.
Positifnya, karena bahasa nasional belum ada, maka medium komunikasi antar-ras adalah bahasa Inggris. Inilah sebabnya penguasaan bahasa Inggris orang Malaysia rata-rata di atas orang Indonesia. Tapi tidak perlu heran jika hingga kini tidak semua orang Malaysia (khususnya India dan Cina) bisa berbahasa Melayu dengan baik dan benar.
Kebijakan pemerintah yang cukup berani adalah menerapkan strategi Universal Free Primary Education, yaitu wajib belajar untuk sekolah dasar atau pendidikan gratis untuk semua warga negara Malaysia. Kebijakan ini dianggap berani karena di Indonesia saja hal ini baru dicanangkan pada tahun 1994. Jika di Indonesia kebijakan pendidikan gratis ini terlaksana setelah 50 tahun merdeka, di Malaysia pendidikan gratis sejak tahun 1962, yaitu saat negara itu baru berumur 5 tahun.
Kebijakan “berani” lain yang dilakukan Pemerintah Malaysia di bidang pendidikan adalah pemberian beasiswa untuk belajar di dalam ataupun di luar negeri. Policy pendidikan nasional Malaysia adalah bahwa tidak ada satupun laki-laki atau perempuan warga negara Malaysia yang terhalang meneruskan pendidikan tingkat tinggi, baik di kolej maupun di universtias, di dalam maupun di luar negeri, karena kekurangan dana.
Untuk melaksanakan policy ini pemerintah Malaysia melalui Kementerian Pendidikan memanfaatkan beberapa sumber dana. Pada mulanya sumbernya dari Commenwealth and Colombo Plan Countries, Yayasan Tengku Abdul Rahman, dan Kementerian Pendidikan sendiri.
Beasiswa yang ditawarkan Kementerian Pendidikan termasuk bidang-bidang seni, sains, pertanian, dan ekonomi. Selain itu juga bidang teknik pelatihan guru-guru, pelatihan guru teknik, dan teknologi pertanian. Beasiswa Commonwealth and Colombo Plan bisa untuk semua bidang di tingkat magister (S2), dan post-professional training, serta bisa ditempuh di Inggris, Kanada, India, Australia, dan negara-negara Commonwealth lainnya. Sedangkan beasiswa dari Yayasan Tengku Abdul Rahman diberikan dalam bentuk pinjaman (loan) untuk tingkat S1 dan S2. Artinya setelah mahasiswa tamat kuliah diharapkan dapat mengembalikan dana yang telah digunakan.
Selain itu masih ada sumber beasiswa lain seperti Commonwealth Education Study Fellow, Colombo Plan Scholarship, Shell Scholarship, Bank Negara Scholarship, dsb. Bahkan beasiswa model Yayasan Tengku Abdul Rahman itu kini dilanjutkan oleh Pemerintah Malaysia, dan negeri-negeri bagian secara efektif. Dengan kebijakan ini maka jumlah mahasiswa Malaysia yang belajar di luar negeri bertambah dari tahun ke tahun, dan sudah tentu SDM berkualitas di negara itu makin bertambah. Pada tahun 1971 misalnya, mahasiswa Malaysia yang belajar di Inggris berjumlah 6.900 orang. Tahun 1972 jumlah itu meningkat menjadi 7.100 orang. Demikian pula jumlah mahasiswa di negara-negara Amerika, Australia, New Zealand, dan lain-lain.
Dengan strategi pemberian beasiswa atau pinjaman ini, kesempatan warga negara Malaysia untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya terbuka lebar. Pemerintah Malaysia dengan begitu dapat mengatasi problem SDM-nya. Jika saat merdeka Malaysia hanya memiliki satu universitas, maka tak lebih dari dua dekade, yakni tahun 1974, ia telah memiliki lima universitas besar. Kini, tahun 2005, jumlah universtias dan kolej di seluruh Malaysia lebih dari 50.
Selain keberanian mengirimkan warganya belajar ke negara-negara maju, Malaysia juga tidak segan-segan menyewa tenaga-tenaga asing dalam berbagai bidang. Salah satu contohnya adalah ketika Malasyia mendirikan International Islamic University Malaysia (IIUM) dan International Islamic Institute of Islamic Thought and Civlization (ISTAC) pada akhir tahun 80-an.
Pada awal IIUM berdiri, dosen-dosen bidang studi Islam asal Malaysia masih belum banyak, sehingga terpaksa mengontrak dosen-dosen dari negara-negara Timur Tengah, Turki, Pakistan, India, Sudan, Yaman, dsb. Saat itu jumlah dosen asing hampir mencapai 70%. Universitas ini sebenarnya adalah proyek ambisius Malaysia untuk pengembangan SDM bagi dunia Islam. Sehingga pada zaman Anwar Ibrahim, IIUM memberi beasiswa (baik dalam bentuk grant ataupun loan) kepada seluruh mahasiswanya. Hal ini dimaksudkan untuk menarik minat mahasiswa dari negara-negara Islam Beasiswa diambilkan dari pajak perusahaan swasta maupun BUMN dan dari muhsinin di negara-negara Timur Tengah.
Model yang sama juga dilakukan oleh Prof Syed Naquib al-Attas di ISTAC. Al-Attas, cendekiawan Malaysia, malah berani mengontrak dosen-dosen yang berkualitas kelas dunia dengan bayaran tinggi. Untuk dosen bahasa Arab, ia merekrut Profesor Hasan Nagar, dosen bahasa Arab di Universitas Chicago, AS. Sedangkan untuk mengajar filsafat Islam, ia mengontrak Profesor Alparslan Acikgenc, dosen Middle East Technical University (METU) Turki. Untuk mengajar ilmu kedokteran Islam, ia menyewa Prof Sami Hamarneh, satu-satunya pakar kedokteran Islam di dunia. Untuk mengajar ilmu psikologi Islam ia merekrut Prof Malik Badri, pakar psikologi Islam tingkat dunia. Bahkan orientalis kelas dunia seperti Hans Daiber, Paul Lettink dan lain-lain pernah mengajar di sini. Namun pada saat yang sama al-Attas juga menyiapkan kader-kader calon pengganti dosen-dosen luar yang hanya dikontrak sementara itu.
Selain dosen berkualitas, perpustakaannya diisi dengan buku-buku yang lengkap dan berkualitas. Selain memiliki buku lengkap tentang kajian Timur dan Barat, ISTAC juga memiliki koleksi manuskrip yang cukup banyak. Koleksi manuskrip Mingana Collection yang termasuk terlengkap di Inggris kebanyakan telah dikopi ISTAC. Demikian pula koleksi manuskrip di Bosnia. Hans Daiber, orientalis kawakan dari Jerman, mengakui bahwa perpustakaan Fakultas Oriental Studies di Frankfurt masih kalah lengkap dibanding perpustakaan ISTAC.
Dengan berdirinya International Islamic University Malaysia (IIUM) ini, kualitas universitas-universitas negeri di Malaysia ikut berkembang pula. Mereka antara lain Universitas Malaya, Universtias Kebangsaan Malaysia, Universitas Sains Malaysia, Universitas Putera Malaysia, Universitas Tun Abdu Razak, dan Universitas Teknologi Malaysia. Jika pada tahun 1970-an jumlah mahasiswa Malaysia di Indonesia mencapai 1.000 orang kini jumlah mahasiswa Indonesia di negeri jiran itu mencapai 5.000 orang lebih. Ini semua menunjukkan, pembangunan SDM di negeri jiran ini ditangani secara serius dan di sinilah sejatinya kekuatan negara ini. Wallahu a’lam. (www.esqmagazine.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar