Selasa, 22 Februari 2011

Pengaruh Musik Teman Belajar

E-mail Print PDF

Musik: Pengaruhnya Terhadap Otak

Sri Herawati Dwi Arini (2001) menyatakan bahwa musik memberikan rangsangan terhadap jalinan antara neuron, sehingga neuron yang bertautan akan meningkatkan kemampuan matematika dan emosi, musik merangsang pikiran, musik memperbaiki konsentrasi dan ingatan, musik membuat siswa lebih pintar, musik meningkatkan aspek kognitif, musik membangun kecerdasan emosional, siswa yang mendapat pendidikan musik jika kelak dewasa akan menjadi manusia yang berpikiran logis, sekaligus cerdas, kreatif dan mampu mengambil keputusan dan mempunyai empati. Dengan pendidikan musik, anak memperoleh stimulasi yang seimbang antara belahan otak kiri dan belahan otak kanan, artinya terdapat keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek emosi.
Roger Sperry (1992) dalam Siegel (1999) penemu teori Neuron mengatakan bahwa neuron baru akan menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik sehingga neuron yang terpisah-pisah itu bertautan dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak, sehingga terjadi perpautan antara neuron otak kanan dan otak kiri itu. Siegel, 1999 mengatakan bahwa musik klasik menghasilkan gelombang Alfa yang menenangkan yang dapat merangsang sistem limbik jaringan neuron otak.

 

Musik Memberikan Rangsangan Terhadap Aspek Kognitif (Matematik)

Hal yang sama dikemukakan Campbell 2001 dalam bukunya Efek Mozart) mengatakan musik Barok (Bach, Handel dan Vivaldi) dapat menciptakan suasana yang merangsang pikiran dalam belajar. Musik klasik (Haydn dan Mozart) mampu memperbaiki konsentrasi ingatan dan persepsi spasial. Masih banyak lagi jenis-jenis musik lain mulai dari Jazz, New Age, Latin, Pop, lagu-lagu, Gregorian bahkan gamelan yang dapat mempertajam pikiran dan meningkatkan kreativitas.
Kognitif merupakan semua proses dan produk pikiran untuk mencapai pengetahuan yang berupa aktivitas mental seperti mengingat, mensimbolkan, mengkategorikan, memecahkan masalah, menciptakan dan berfantasi.
Mengacu pada perkembangan kognitif dari Piaget (1969) dalam teori belajar yang didasari oleh perkembangan motorik, maka salah satu yang penting yang perlu distimulasi adalah keterampilan bergerak. Melalui keterampilan motorik anak mengenal dunianya secara konkrit. Dengan bergerak ini juga meningkatkan kepekaan sensori, dan dengan kepekaan sensori ini juga meningkatkan perkiraan yang tepat terhadap ruang (spatial), arah dan waktu. Perkembangan dari struktur ini merupakan dasar dari berfungsinya efisiensi pada area lain. Kesadaran anak akan tempo dapat bertambah melalui aktivitas bergerak dan bermain yang menekankan sinkronis, ritme dan urutan dari pergerakan. Kemampuan-kemampuan visual, auditif dan sentuhan juga diperkuat melalui aktivitas gerak.
Gallahue, (1998) mengatakan, kemampuan-kemampuan seperti ini makin dioptimalkan melalui stimulasi dengan memperdengarkan musik klasik. Rithme, melodi, dan harmoni dari musik klasik dapat merupakan stimulasi untuk meningkatkan kemampuan belajar anak. Melalui musik klasik anak mudah menangkap hubungan antara waktu, jarak dan urutan (rangkaian) yang merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk kecakapan dalam logika berpikir, matematika dan penyelesaian masalah.
Hasil penelitian Herry Chunagi (1996) Siegel (1999), yang didasarkan atas teori neuron (sel kondiktor pada sistem saraf), menjelaskan bahwa neuron akan menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik, rangsangan yang berupa gerakan, elusan, suara mengakibatkan neuron yang terpisah bertautan dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak. Semakin banyak rangsangan musik diberikan akan semakin kompleks jalinan antarneuron itu. Itulah sebenarnya dasar adanya kemampuan matematika, logika, bahasa, musik, dan emosi pada anak.
Selanjutnya, Gordon Shaw (1996) dalam newsweek (1996) mengatakan kecakapan dalam bidang yakni matematika, logika, bahasa, musik dan emosi bisa dilatih sejak kanak-kanak melalui musik. Dengan melakukan penelitian membagi 2 kelompok yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen melalui pendidikan musik sehingga sirkuit pengatur kemampuan matematika menguat.
Musik berhasil merangsang pola pikir dan menjadi jembatan bagi pemikiran-pemikiran yang lebih kompleks. Didukung pula oleh Martin Gardiner (1996) dalam Goleman (1995) dari hasil penelitiannya mengatakan seni dan musik dapat membuat para siswa lebih pintar, musik dapat membantu otak berfokus pada hal lain yang dipelajari. Jadi, ada hubungan logis antara musik dan matematika, karena keduanya menyangkut skala yang naik turun, yaitu ketukan dalam musik dan angka dalam matematika.
Daryono Sutoyo, Guru Besar Biologi UNS Solo, melakukan penelitian (1981) tentang kontribusi musik yaitu menstimulasi otak, mengatakan bawha pendidikan kesenian penting diajarkan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) agar peserta didik sejak dini memperoleh stimulasi yang seimbang antara belahan otak kiri dan belahan otak kanannya. Bila mereka mampu menggunakan fungsi kedua belahan otaknya secara seimbang, maka apabila mereka dewasa akan menjadi manusia yang berpikir logis dan intutif, sekaligus cerdas, kreatif, jujur, dan tajam perasaannya.
Implementasi dari penelitian tersebut, pendidikan kesenian sewaktu di SD mempengaruhi keberhasilan studi pada pendidikan berikutnya. Dengan demikian, diasumsikan bahwa pendidikan kesenian di SD termasuk faktor penentu dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Musik Sebagai Pendekatan Belajar

Berbagai sirkuit pada otak mempunyai waktu perkembangan yang berbeda-beda. Merangsang anak pada waktu masa perkembangan yang tepat bisa memaksimalkan kemampuannya. Kemampuan matematika dan logika ada dalam korteks otak yang berdekatan dengan kemampuan musik dengan masa pembentukan 0 – 4 tahun. Untuk itu perlu dilakukan bermain hitungan sederhana bersama anak melalui media musik dalam mengajarkan berhitung, misalnya satu piring, satu garpu, satu sendok, saat bersantap di meja makan. Antara  lambang notasi musik dan matematika terdapat kesamaan-kesamaan utamanya untuk notasi angka. Untuk menulis bunyi dan tanda diam dengan bermacam-macam lama waktu atau panjang pendeknya bunyi dan tanda diam digunakan notasi irama dengan bentuk dan nilai tertentu:. Misalnyanya untuk not penuh nilainya 1 atau 2/2 atau 4/4,  not tengahan nilainya ½ atau 2/4,  not perempat nilainya ¼ atau 2/8,  not perdelapan nilainya 1/8 atau 2/16,  not perenambelas nilainya 1/16,  tanda diam penuh nilainya 1 atau 2/2 atau 4/4,  tanda diam tengahan nilainya ½ atau 2/4,  tanda diam perempat nilainya ¼ atau 2/8,  tanda diam perdelapan nilainya 1/8 atau 2/16, tanda diam perenambelas nilainya 1/16. Titik di belakang not atau tanda diam menambahkan nilai not atau tanda diam itu dengan setengah dari nilainya:

4/4 + 2/4 = 6/4

2/4 + 1/4 = 3/4

1/4 + 1/B = 3/B

1/B + 1/16 = 3/16

1/6 + 2/4 = 6/4

2/4 + 1/4 = 3/4

1/4 + 1/B = 3/4

1/8 + 1/16 = 3/16

Tiap not dapat bernilai dengan perbandingan 3 : 1, jika diberi tanda trial. Tanda legatura menghubungkan dua buah not atau lebih () memperpanjang nilai not yang pertama menjadi jumlah nilai not-not yang dihubungkannya.

2 2 1 3

Jika = ----, maka = ----- + ----- = -----

4 4 4 4

2 2 3 5

Jika = ----, maka = ----- + ----- = -----

4 4 4 4

4 4 3 7

Jika = ----, maka = ----- + ----- = -----

4 4 4 4


Musik dan Kecerdasan Emosi

Para ilmuwan sering membicarakan bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks, (kadang-kadang disebut neokorteks) sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurangi emosi yaitu sistem limbik. Padahal keduanya mempunyai hubungan. Interaksi yang disebabkan rangsangan bunyi musik yang menentukan kecerdasan emosional.
Korteks adalah bagian berpikir otak dan berfungsi mengendalikan emosi melalui pemecahan masalah, bahasa, daya cipta, dan proses kognitif lainnya. Sistem limbik merupakan bagian emosional otak. Sistem meliputi ini thalamus, yang mengirimkan pesan-pesan ke korteks; hippocampus, yang berperan dalam ingatan dan penafsiran persepsi; dan amigdala, pusat pengendalian emosi.
Menurut peneliti Siegel (1999) ahli perkembangan otak, mengatakan bahwa musik dapat berperan dalam proses pematangan hemisferhemisfer sebelah kiri, oleh karena adanya cross-over dari kanan ke kiri dan sebaliknya yang sangat kompleks dari jaras-jaras neuronal di otak. kanan otak, walaupun dapat berpengaruh ke
Efek atau suasana perasaan dan emosi baik persepsi, ekspresi, maupun kesadaran pengalaman emosional, secara predominan diperantarai oleh hemisfer otak kanan. Artinya, hemisfer ini memainkan peran besar dalam proses perkembangan emosi, yang sangat penting bagi perkembangan sifat-sifat manusia yang manusiawi.
Kehalusan dan kepekaan seseorang untuk dapat ikut merasakan perasaan orang lain, menghayati pengalaman kehidupan dengan "perasaan", adalah fungsi otak kanan, sedang kemampuan mengerti perasaan orang lain, mengerti pengalaman dengan rasio adalah fungsi otak kiri. Kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan manusiawi dengan orang lain merupakan percampuran (blending antara otak kanan dan kiri itu).
Proses mendengar musik merupakan salah satu bentuk komunikasi afektif dan memberikan pengalaman emosional. Emosi yang merupakan suatu pengalaman subjektif yang inherent terdapat pada setiap manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati serta mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan, ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan perkembangannya melalui musik sejak masa dini.
Campbell 2001 dalam bukunya efek Mozart mengatakan musik romantik (Schubert, Schuman, Chopin, dan Tchaikovsky) dapat digunakan untuk meningkatkan kasih sayang dan simpati.
Musik digambarkan sebagai salah satu "bentuk murni" ekspresi emosi. Musik mengandung berbagai contour, spacing, variasi intensitas dan modulasi bunyi yang luas, sesuai dengan komponen-komponen emosi manusia.
Suzuki (1987) dalam Utami Munandar mengatakan bila anak dibesarkan dalam suasana musik Mozart sejak dini, jiwa Mozart yang penuh kasih sayang dan disiplin akan tumbuh dalam dirinya. Inilah keajaiban musik.

 

Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Peter Salovey dan John Mayer (1990) dalam Shapiro (1997) menerangkan kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan kualitas ini adalah kemampuan mengenali emosi diri. Sternberg dan Salovery dalam Shapiro (1997) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul, dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Dalam hal ini, sikap yang diambil dalam menentukan berbagai pilihan seperti memilih sekolah, sahabat, profesi sampai kepada pemilihan pasangan hidup.
Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara wajar. Misalnya seseorang yang sedang marah maka kemarahan itu tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesali di kemudian hari.
Kepekaan akan rasa indah timbul melalui pengalaman yang dapat diperoleh dari menghayati musik. Kepekaan adalah unsur yang penting guna mengerahkan kepribadian dan meningkatkan kualitas hidup. Seseorang memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka maka ia akan dapat mengambil keputusan-keputusan secara mantap dan membentuk kepribadian yang tangguh. Kemampuan motivasi adalah kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur harapan dan optimisme yang tinggi, sehingga memiliki kekuatan semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, misalnya dalam hal belajar. Seperti apa yang kita cita-citakan dapat diraih dan mengisyaratkan adanya suatu "perjalanan" yang harus ditempuh dari suatu posisi di mana kita berada (Point of Departure, POD) ke suatu titik tiba (Point of Arrival, POA) dalam kurun waktu tertentu.
Kemampuan membina hubungan bersosialisasi sama artinya dengan kemampuan mengelola emosi orang lain. Evelyn Pitcer dalam Kartini (1982) mengatakan musik membantu anak-anak untuk mengerti orang lain dan memberikan kesempatan dalam pergaulan sosial dan perkembangan terhadap emosional mereka.
Kemampuan untuk mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul. Melalui belajar kelompok (group) dituntut untuk bekerjasama, mengerti orang lain.
Anak merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai, ingin diakui, dan dihargai. Berkeinginan pula untuk dihitung dan mendapatkan tempat dalam kelompoknya. Jelas bahwa individualitas dan sosialitas merupakan unsur-unsur yang komplementer, saling mengisi dan melengkapi dalam eksistensi anak.
Kecerdasan emosional perlu dikembangkan karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyarakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensi anak dapat berkembang secara lebih optimal.
Idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional. Daniel Goleman (1995) melalui bukunya yang terkenal "Emotional Intelligences (EQ)", memberikan gambaran spectrum kecerdasan, dengan demikian anak akan cakap dalam bidang masing-masing namun juga menjadi amat ahli. Sebagaimana dikatakan oleh para ahli, perkembangan kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh rangsangan musik seperti yang dikatakan Gordon Shaw (1996).

Kecerdasan Emosional : Pengertian dan Ciri-cirinya

Setiap individu dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya ditentukan oleh kecerdasan dari individual. Kecerdasan merupakan keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengelola dan menguasai lingkungan secara efektif. (Sarlito WS, 2001:11).
Kecerdasan  adalah kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang  datang. Menurut Stern (Walgito, 1997:120) kecerdasan adalah sebagai kemampuan menyelesaikan yang dihadapi, hal ini berarti bahwa individu yang cerdas akan lebih cepat dan lebih tepat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Orang yang mempunyai intelegensi tinggi mereka akan mudah melakukan proses belajar dan mengambil manfaat dari pengalaman, kemampuan yang ada seperti kemampuan untuk belajar dan mengambil manfaatnya, kemampuan untuk berfikir, menalar, beradaptasi terhadap hal-hal yang timbul dari perubahan lingkungan dan kemampuan untuk memotivasi diri guna menyelesaikan secara tepat serta tugas-tugas yang perlu segera diselesaiikan. Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi yang hidup pada tahun 1857-1911 bersama Theodore Simond mendefinisikan intelegensi terdiri atas tiga komponen : a) kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau tindakan; b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan; c) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau  autocritism (Saifudin Azwar, 1996:5). Sementara Anita E. Woolfolk (1995), intelegensi meliputi tiga kemampuan: a) kemampuan untuk belajar; b) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; c) kemampuan untuk beradaptasi (Syamsul Yusuf,  tt. : 106). Kecerdasan emosi “emotional intelligence” merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Teori yang komprehensif tentang  kecerdasan emosi diajukan dalam tahun 1990 oleh dua orang psikolog, Petter Salovey, di Yalle dan Jhon Mayer sekarang di Universitas of New Hampshire. (Diakses bulan Juni 2007, http://psikologi.net /mine/articel.27.html ).
Sebuah model pelopor untuk kecerdasan emosi diajukan dalam tahun 1980-an oleh Reuven Baron, seorang psikolog Israel. Selama beberapa tahun belakangan ini, banyak pakar telah mengajukan teori masing-masing dengan gagasan yang lebih serupa. Solovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai  kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta  menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional kalau dilihat dari konteks pekerjaan adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita dan orang lain rasakan, termasuk cara cepat tepat menangani masalah. (Anthony Dio Martin, 2003 : 23)
Goleman (1997), mengatakan bahwa apabila seseorang pandai menyesuaikan dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial dan lingkungannya. Menurut Goleman kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. (Diakses bulan April  2007, http://www.e/psiko-logi.com /remaja/250402.htm)
Howes dan Herald (1999) mengatakan kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi, emosi manusia berada di wilayah dari perasaan yang paling dalam dari lubuk hati, naluri yang tersembunyi dan emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.(Diakses bulan April 2007, http://www.e/psikologi.com/remaja/ 250402.htm)
Agustian menyebutkan kecerdasan emosional dengan istilah akhlaqul karimah (Ari Ginanjar, 2001:199). Sarwono mendefinisikan emosi secara harfiah adalah setiap kegiatan dan pengelolaan fikiran, nafsu dari setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap  Emosi juga menunjukkan suatu perasaan dan fikiran yang khas. Suatu keadaan biologis dan psikologis serta seringkali kecenderungan untuk bertindak. Emosi adalah kesadaran mental yang dipelajari berhubungan dengan obyek dan membawa kepada terdorongnya makhluk hidup untuk melakukan bermacam-macam tindakan yang berhubungan dengan obyek tertentu. Emosi dapat ditimbulkan karena sugesti yaitu proses pemudahan emosi dari seseorang yang mempengaruhi. (El Qussy, 1975:125).
Goleman mengemukakan tentang ciri-ciri emosi yaitu :
1. Respon yang cepat tetapi ceroboh. Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional, langsung bertindak tanpa mempertimbangkan bahkan sekejappun apa yang dilakukannya. Jose p De Doex, seorang ahli saraf di Center for neural science di New York University, merupakan orang yang telah berjasa menemukan pertama kali peran kunci amigdala dalam otak emosional. Penelitiannya menunjukkan bagaimana amigdala mampu mengambil alih kendali dan seluruh aktivitas manusia. Bahkan sewaktu reocorteks masih menyusun keputusan dalam mengambil jalan pintas dengan memutuskan untuk menghindari ancaman tanpa mengalami neokorteks.
2. Perasaan dan pikiran, karena pikiran rasional membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mendata dan menanggapinya daripada yang dibutuhkan oleh pikiran emosional, maka dorongan pertama adalah perasaan dalam situasi emosi yaitu dorongan hati, bukan kepala.
3. Realitas simbolik seperti kanak-kanak segi-segi dimana pikiran emosinya mirip dengan kanak-kanak adalah pikiran kategori dan bersifat pribadi.
4. Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang. Apabila sejumlah dari sesuatu peristiwa nampak serupa dengan kenangan masa lalu yang mengandung muatan emosi, akal emosional menanggapinya dengan memicu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingatnya itu.
5. Realitas yang ditentukan oleh keadaan kecerdasan emosional dengan bekerja akal emosional itu untuk sebagian besar ditentukan keadaan, ditekan oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat tersebut. (Daniel Goleman, 1995:419-420).

Menurut Nana Syaodih ada 4 ciri emosi yaitu : pertama, pengalaman emosional bersifat pribadi. Kehidupan seseorang individu tumbuh dari pengalaman dari emosionalnya sendiri. pengalaman emosional ini sangat subyektif dan bersifat pribadi, berbeda antara seseorang individu dengan individu lainnya. Ada perangsang-perangsang tertentu yang secara umum menimbulkan rangsangan emosional yang sama terhadap individu seperti rasa takut akan binatang buas, api, suara yang sangat keras. Demikian pengalaman sangat memegang peranan penting dalam pertumbuhan rasa takut, dan jenis-jenis emosi lainnya.
Kedua, adanya perubahan aspek jasmaniah. Pada individu menghayati suatu emosi, maka terjadi beberapa perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lain. demikian juga intensitas perubahan pada sesuatu aspek berbeda dengan aspek lain, dan pada seseorang individu jika sedang marah maka perubahan yang paling kuat terjadi pada debar jantungnya sedangkan yang lain pernafasannya. Dalam jenis emosi yang kuat seperti marah, takut, rangsangan seksual dan sebagainya, pekerjaan jantung dan tekanan darah mengalami perubahan. Debaran jantung bertambah kuat mengakibatkan jumlah darah dipompakan lebih banyak, hal itu akan meningkatkan tekanan darah. Pada waktu menghayati sesuatu emosi terjadi pula perubahan pernafasan.
Ketiga, emosi diekspresikan dalam perilaku. Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara atau bahasa. Seseorang yang sedang mengalami rasa takut atau marah akan dapat dilihat dalam gerak tubuhnya tetapi akan jelas nampak pada roman mukanya. Wajahnya yang memerah dengan raut muka yang tegang dan melotot, gigi gemeretak adalah ekspresi roman muka dari seaorang yang sedang marah. Ekspresi emosi juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar, dan kematangan. Orang-orang tuna netra pada umumnya kurang dapat mengekspresikan emosinya melalui roman muka, sebab mereka tidak pernah melihat roman muka orang lain.
Keempat, emosi sebagai motif. Motif merupakan suatu tenaga yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Begitu juga dengan emosi dapat mendorong sesuatu kegiatan apakah menjauhi atau mendekati suatu obyek yang memberikan rangsangan emosional. Seseorang yang sedang marah mungkin ingin memukul orang yang merangsang amarahnya, orang yang sedang takut menjauh atau mendekati suatu obyek yang ditakutinya. Emosi merupakan suatu motif, sebab keduanya berasal dari bahasa latin yag seakar yaitu motive dari movere yang berarti to move (menggerakkan) sedang emotion dari emovere yang berarti to move out off (bergerak keluar dari) keduanya berarti bergerak atau menggerakkan, (Nana Syaodih, 2003:81-82)
Menurut Goleman tingkat kecerdasan emosional tidak terkait dengan faktor genetik, tidak juga hanya berkembang pada masa kanak-kanak tidak seperti IQ yang berubah hanya sedikit melewati masa remaja. Kecerdasan emosional lebih banyak diperoleh lewat belajar dan terus berkembang sepanjang hidupnya, dan kecakapan dalam hal ini akan terus tumbuh (Stein, Howard, 2002:35). Pendidikan, pelatihan dan pengalaman sangat diperlukan untuk membangun atau mengembangkan kecerdasan emosional.

Menurut Goleman terdapat konsepsi yang keliru tentang kecerdasan emosional :
1. Kecerdasan emosional tidak hanya bersikap ramah tetapi sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetap mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari.
2. Kecerdasan emosional berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa untuk memanjakan perasaan-perasaan melainkan mengelola perasaan sedemikian sehingga terekspresi secara tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar untuk menuju sasaran bersama (Daniel Goleman, 1995:29)

Pada bagian lain, Stain dan Book menyebutkan ciri-ciri lain dari kecerdasan emosional :
Kecerdasan emosional bukanlah bakat, yang terkait dengan kemampuan seseorang untuk berhasil dalam suatu ketrampilan atau kegiatan suatu disiplin tertentu.
Kecerdasan emosional bukan prestasi yang berhubungan dengan jenis kinerja tertentu, bukan seperti raport sekolah.
Kecerdasan emosional bukan minat terhadap suatu bidang pekerjaan, yang memusatkan kecenderungan-kecenderungan alamiyah atau kegemaran seseorang, daya tahan dan kemandirian dalam berfikir, merasa dan berperilaku. (Daniel Goleman, 1995:25).
Para ilmuwan sering membicarakan bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks (kadang-kadang disebut neokorteks)  sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurangi emosi yaitu sistem limbic.
Korteks adalah bagian berpikir otak dan berfungsi mengendalikan  emosi melalui pemecahan masalah, bahasa, daya cipta, dan proses kognitif lainnya. Sistem limbic merupakan bagian emosional otak. Sistem ini mjeliputi thalamus, yang  mengirimkan pesan-pesan ke korteks, hippocampus, yang berperan dalam ingatan dan penafsiran persepsi; dan amigdala, pusat pengendalian emosi. Efek atau suasana perasaan dan emosi baik persepsi, ekspresi, maupun kesadaran pengalaman emosional, secara predominan diperantarai oleh hemisfer otak kanan. Artinya, hemisfer ini memainkan peran besar dalam proses perkembangan emosi, yang sangat penting bagi perkembangan sifat - sifat manusia yang manusiawi (Diakses bulan April 2007,http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/30/musik-merupakan-stimulasi-ter-had.htm ).
Kehalusan dan kepekaan seseorang untuk dapat ikut merasakan perasaan orang lain, menghayati pengalaman kehidupan dengan perasaan, adalah fungsi otak kanan, sedang kemampuan mengerti perasaan orang lain, mengerti pengalaman dengan rasio adalah fungsi otak kiri. Kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan manusiawi dengan orang lain merupakan percampuran (blending antara otak kanan dan kiri itu). (diakses bulan April 2007, http://www. depdiknas. go.id/Jurnal/30/musik-merupakan-stimulasi-terhad.htm ).
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan  menjadi begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respons yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Daniel Goleman menggambarkan bahwa otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
Jenis dan sifat emosi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Amarah ; bringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian bersifat patologis.
  2. Kesedihan: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
  3. Rasa takut; cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, fobia, dan panik.
  4. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya mania.
  5. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
  6. Terkejut; terkesima, takjub, terpana.
  7. Jengkel; hina, jijik, muak, mual, dan benci.
  8. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur (Daniel Goleman,1995:411-422)
Kelompok-kelompok emosi tersebut di atas menurut Paul Ekman dari Universitas California, akan menampilkan ekpresi wajah yang universal di hampir seluruh etnik, artinya dari suku dan etnik manapun seorang yang mengalami berbagai jenis emosi di atas akan menampilkan ekspresi raut muka yang sama (Daniel Goleman, 1995:412).
Ada juga yang memberikan rujukan tentang kecerdasan emosional kepada ciri-ciri diri sendiri : empati, meluapkan dan memahami perasaan, mengawali perasaan marah, berdikari, kebolehan menyesuaikan diri dengan persekitaran, kebolehan menyelesaikan masalah pergaulan, persistensi yaitu sikap tidak mudah mengaku kalah, mudah mesra dan ramah, baik budi,  pandai menghormati diri sendiri dan orang lain. (Diakses bulan April 2007) http://www.epsikologi.com/emaja/250402.htm
Pada sistem lain, kecerdasan emosional bersumber pada suara hati, dan suara hati orang lain. Asma’al-Husna merupakan kunci dari kecerdasan emosional dalam mengembangkan ketegunan pribadi sekaligus ketangguhan sosial, dalam Asma’ al-Husna tersebut terdapat sifat-sifat Tuhan antara lain pengsih, penyayang, penyabar, pemaaf, penyantun, dan lain-lain (Ari Ginanjar, 2001:289).

 

Kemampuan-Kemampuan Dalam Kecerdasan Emosional

Para ahli mempunyai pendapat tentang hal-hal yang termasuk dalam kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional. Beberapa diantaranya:  Daniel Goleman; menurutnya kemampuan kecerdasan emosional mencakup : 1) kemampuan  untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi prustasi; 2) Pengendalian dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan kesenangan; 3) mengutus suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa (Daniel Goleman, 1995:45).
Gardner menyatakan bahwa kemampuan mencakup : 1) mengenal emosi diri; 2) mengelola emosi; 3) memotivasi diri sendiri; 4) mengenali emosi orang lain; dan 5) membina hubungan (Daniel Goleman, 2002:61).
Menurut Solovey kemampuan kecerdasan emosional lima kemampuan dalam kecerdasan emosional, yaitu: Pertama,   Mengenali emosi diri. Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah (diakses bulan Maret 2007) http://www.e-psikologi.com/remaja/250402.htm)
Kedua, mengelola emosi (managing emotion). Pengendalian diri terhadap emosi sangatlah penting. Menurut Benjamin Franklin “Amarah itu tidak pernah tanpa alasan, tapi jarang yang memakai alasan benar”. Pemicu marah adalah dikarenakan perasaan terancam bahaya.  Ancaman itu bukan hanya bersifat ancaman fisik langsung melainkan sebagaimana sering terjadi, ancaman simbolik terhadap harga diri atau martabat, diperlakukan tidak adil atau dikasari, dicari maki atau diremehkan, prustasi sewaktu mengejar sasaran penting.
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri. (diakses bulan April 2007) http://www.e-psikologi.com/ remaja/250402.htm).
Ketiga, memotivasi diri sendiri (motivating oneself). Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional menahan diri terhadap kepuasan dan pengendalian dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan mampu menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan hati, b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme, dan e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada suatu obyek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya (diakses bulan April,2007) http://www.e-psikologi.com/remaja 250402.htm).
Keempat, mengenai emosi orang lain. Empati  merupakan kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri, merupakan “ketrampilan bergaul” dasar. Empati dibangun berdasarkan kesadaran, semakin terbuka kita pada emosi diri sendiri, semakin terampil membaca perasaan. Empati sering diungkapkan dengan isyarat, kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain ikut berperan dalam pergaulan arena kehidupan. (Diakses bulan April 2007) http://www.e-psikologi.com/remaja 250402.htm).
Kelima, membina hubungan. Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan ketrampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya ketrampilan semacam inilah yang menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.  (Diakses bulan April 2007) http://www.e-psikologi. com/remaja 250402.htm).
Kemampuan  yang diajukan oleh pakar-pakar diatasnya memiliki orientasi sama yaitu kecerdasan emosional yang mencakup kemampuan sifat intra pribadi atau kesadaran diri, dan kemampuan antara pribadi atau kesadaran sosial. Kemampuan intra pribadi berupa:

1 - Kesadaran Diri

Kesadaran pribadi sebagai dasar kecerdasan emosional penting untuk ditumbuh-kembangkan hal ini upaya untuk mengontrol diri, sehingga tidak berlarut- larut atau terjebak dalam perbuatan yang menyimpang. Kesadaran diri pada remaja berkaitan dengan pencarian identitas diri. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, perkembangan identitas ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: 1) iklim keluarga, berkaitan dengan interaksi sosial. Emosi antar anggota keluarga, sikap dan perkataan orang tua terhadap anak; 2) tokoh idola, orang yang dipersiapkan oleh remaja sebagai figure yang memiliki posisi di masyarakat; 3) peluang pengembangan diri yaitu, kesempatan untuk melihat ke depan dan menguji diri dalam  setting kehidupan beragama. (Syamsu Yusuf, 2001:2002).
Menurut Steven J. Stein bahwa kesadaran diri merupakan kemampuan untuk mengenal dan memilah-milah perasaan, memahami hal yang sedang dirasakan, mengapa hal itu dirasakan dan mengetahui  penyebab munculnya perasaan tersebut.
Kesadaran diri juga merupakan kemampuan manusia mengerti dirinya sendiri yang memungkinkan dia menempatkan diri di dalam waktu (masa kini, masa lampau, masa depan). (Toto Tasmara,2001:160).
Mayer mengetakan bahwa kesadaran diri berarti waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. (Daniel Goleman, 1995: 64). Kesadaran diri bertaut pada konsep diri, adalah hubungan pribadi terhadap diri sendiri yang mencakup tiga aspek diantaranya:
1)   Kesadaran emosi, yaitu tahu tentang bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja seseorang dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk memadukan pembuatan keputusan, dengan kecakapan ini akan menyadari emosi mana yang mereka rasakan dan mampu menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan mereka pikulkan. Perbuatan dan perkataan, mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran mereka.
2)   Penilaian diri yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan dan batas-batas pribadi, dan visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan mampu untuk belajar dari pengalaman kecakapan lain meliputi sadar akan kekuatan dan kelamahannya. Menyampaikan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman, tulus bersedia menerima perspektif yang baru mau terus belajar dan mengembangkan diri dengan perspektif yang luas.
3)   Percaya diri adalah keberanian yang berasal dari kepastian tentang kemampuan nilai dan tujuan. Orang dengan kecakapan ini adalah berani tampil dengan keyakinan diri dan berani  menyatakan keberatannya. Berani menyuarakan pandangan yang tidak popular dan berani berkorban demi kebenaran, tegas, mampu membuat keputusan yang baik  kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan. (Forum Kajian Agama:16-17).

 

2 - Kemandirian

Menurut Steven J. Sten, Kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain secara emosional. Orang yang mandiri mengandalkan dirinya sendiri dalam merencanakan dan membuat keputusan, tetap tidak juga mempertimbangkan pendapat orang lain sebelum akhirnya membuat keputusan yang tepat bagi dirinya sendiri.
Kemandirian pada masa remaja diwujudkan dalam bentuk usaha untuk melepaskan mileu (lingkungan) orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya, menurut Eriksa menanamkan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Pembentukan identitas yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap, merupakan aspek yang penting dalam perkembangan berdiri sendiri, pada masa remaja terdapat keinginan untuk mandiri tersebut diwujudkan dengan menolak terhadap bantuan yang diberikan oleh para guru atau orang tua.

 

3 - Aktualisasi diri

Aktualisasi diri memperkenalkan kemampuan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang potensial, perwujudan potensi dapat dilakukan dengan mengembangkan berbagai kegiatan yang dapat menyenangkan dan bermakna, aktualisasi diri adalah proses berkesinambungan yang dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan dari bakat secara maksimal dan berusaha dengan gigih dan sebaik mungkin untuk memperbaiki diri secara menyeluruh, kegairahan terhadap bidang yang diminati dan menambah semangat dan motivasi untuk terus memupuk minat itu. (Abdul Munir Mulkhan, 2000:95).
Maslow menyebutkan sifat khusus yang menggambarkan pengaktualisasian-pengaktualisasian diri.
1) Mengamati realitas secara efisien;
2) Penerimaan umum atas kodrat, orang-orang lain dan diri sendiri, orang yang mengaktualisasikan diri menerima mereka, kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan;
3) Spintanitas kesederhanaan dan kewajaran. Seseorang mengaktualisasikan dengan tidak harus menyembunyikan emosi-emosi mereka, tetapi dapat memperhatikan emosi-emosi itu secara jujur;
4) Kebutuhan dan privasi dan independensi, orang-orang yang mengaktualisasikan diri memiliki suatu kebutuhan yang kuat untuk pemisahan dan kesunyian;
5) Aspirasi yang senantiasa segar, pengaktalisasiasn diri senasntiasa menghargai pengalaman-pengalaman tertentu, bagaimanapun seringnya pengalaman itu berulang suatu perasaan kenikmatan yang segar, perasaan terpesona dan kagum.
6) Minat sosial, pengaktualisasian diri memiliki perasaan empati dan apeksi yang kuat terhadap sesama manusia sifat kemampuan antar pribadi (Abdul Munir Mulkhan, 2000:95-96).

 

4 - Hubungan antar pribadi

Hubungan antara pribadi merupakan kemampuan membina dan memelihara hubungan yang saling memuaskan yang ditandai dengan keakraban dan saling memberi serta menerima kasih sayang. Interaksi sosial maksudnya adalah saling memberi dan menerima. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi yang positif dicirikan oleh kepedulian pada sesama. Unsur kecerdasan emosional ini tidak hanya berkaitan dengan keinginan untuk membina persahabatan dengan orang lain. Tetapi juga dengan kemampuan merasa tenang dan nyaman berada dalam jalinan hubungan tersebut. Serta kemampuan memilih harapan positif yang menyangkut interaksi sosial. (Steven Howard, 2002:165).
Kesuksesan dalam melalukan hubungan antar pribadi diperlukan pula kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan wajar dan tenang. Sebaliknya kegagalan untuk melakukan penyesuaian diri dapat mengakibatkan sesama lari dari situasi atau akan mengalahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan lain. Sehingga lupa dengan kegagalan tersebut. (Yusuf Amir, 1955:331).
Bagi remaja penyesuaian diri yang paling sulit untuk dilakukan adalah dengan meningkatkan pengaruh kelompok sebaya, perubahan perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, dan nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan (Elizabeth, 1995:213).

 

5 - Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial merupakan kemampuan menunjuk bahwa anggota kelompok masyarakat yang dapat bekerja sama, berperan dan berkonstruktif, untuk kecerdasan emosional meliputi  tindakan secara bertanggung jawab, meskipun mungkin seseorang tidak mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi, melakukan sesuatu untuk dapat bersama orang lain, bertindak sesuai dengan hati nurani, dan menjunjung tinggi norma yang berlaku dalam masyarakat. Orang yang memiliki rasa tanggung jawab sosial mempunyai kesadaran sosial dan sangat peduli pada orang lain. Kesadaran peduli pada orang lain. Kesadaran sosial dan kepedulian ini nampak dalam kemampuan memikul tanggung jawab sosial, memiliki kepekaan antara pribadi dan dapat menerima orang lain, serta dapat menggunakan bakatnya demi kebaikan bersama, tidak hanya demi diri sendiri orang yang tidak mempunyai tanggung jawab sosial akan menunjukkan sikap anti sosial, bertindak sewenang-wenang pada orang lain dan memanfaatkan orang lain (Stein, Howard E, 2002:213).

 

6 - Empati

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. (diakses  April 2007, http://www.e-psikologi. com/ remaja.htm ).
Empati dapat dibedakan sebagai berikut : a) empati kognitif adalah mengetahui emosi orang lain; b) empati partisipatoris adalah masuk dalam pengalaman subyektif orang lain; c) empati afektif yaitu melakukan sesuatu seolah-olah ia berada dalam proses orang itu artinya membangkitkan emosi orang lain atau memberi alternatif lebih baik. Adapun ciri-ciri empati adalah :
a)    Ikut meraih (sharing feeling) yaitu untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain;
b)   Dibangun berdasarkan atas kesadaran diri, semakin seseorang mengetahui emosi diri, semakin terampil ia membaca emosi orang lain;
c)    Peka terhadap bahasa isyarat karena emosi lebih sering diungkapkan melalui bahasa isyarat;
d)   Mengembil peran adalah empati melahirkan perilaku kongkrit;
e)    Kontrol emosi yang menyadari diri yang sedang berempati, tidak larut. (Depag. RI. Forum Kajian Agama dan budaya, Serta program D3 Fakultas Adab IAIN Sunak Kalijaga, Yogyakarta:42).
Menurut Daniel Goleman adaptasi memerlukan lima dasar kecakapan emosi dan sosial : Pertama, kesadaran diri. Mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kedua, pergaulan diri: Hasil dari pendidikan emosi ini adalah dapat mengenali perasaan yang timbul serta penyebabnya. Materi lain yang juga penting adalah mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan dan perbuatan. Pikiran dapat menyebabkan timbulnya suatu perasaan dan perasaan mendasari adanya suatu perbuatan. Jadi walaupun sifatnya berlainan, namun ketiga hal ini sangat berkaitan erat satu sama lain, menangani emosi   sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi;  Ketiga, motivasi, menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun untuk menuju sasaran, membantu kiat mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan mengahadapi kegagalan dan frustasi. Keempat, empati. Kesadaran akan lingkungan  sekitar membutuhkan pengertian terhadap sesama, dalam arti mengetahui perasaan dan perspektif  orang lain. Contoh terbaik adalah dengan mendengarkan segala keluhan mereka tanpa terbawa oleh emosi pribadi. Siswa diharapkan mampu memberdakan antara perbuatan dan perkataan orang lain dengan pemikiran dan reaksi pribadi. Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.  Kelima, ketrampilan sosial yakni menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berorientasi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama. Di dalam system otak ada suatu bagian yang disebut limbic (otak kecil), terletak di bawah tulang tengkorak di atas tulang belakang. Otak kecil ini ditemukan oleh para ilmuwan memiliki tiga fungsi yaitu mengontrol emosi, mengontrol seksualitas, dan mengontrol pusat-pusat kenikmatan.


Comments
Add New RSS


rahma   |202.43.181.xxx |2010-06-23 21:25:39
duh.......panjang banget sih tadz........

Write comment
Name:
Email:
 
Title:
:D:angry::angry-red::evil::idea::love::x:no-comments::ooo::pirate::?::(:sleep::););)):0


Please input the anti-spam code that you can read in the image.
Last Updated ( Friday, 07 January 2011 05:47 )  

5 komentar:

  1. Great looking web site. This has been quite helpful. Thank you so very much for this valuable information continue your web page and good luck, we at Addhunters shifted this service to a level much higher than the broker concept. So, if you’re willing to buy a property in Qatar in terms of investment or moving to a new home, here are some perfect options for you. You can see more details please visit our web site. Property for sale Good location in pearl qatar

    BalasHapus

Label

Blog Archive

Connect With Us

Instructions

Recomended

Label

Pengikut

About Me

Foto saya
yogyakarta, DIY, Indonesia
ayo belajar
Powered By Blogger

ARJUNA BELAJAR

belajar adalah mencari pengetahuan

Blog Archive

Cari Blog Ini

Pages