Selasa, 22 Februari 2011


Indonesia Tertinggal Oleh Malaysia E-mail
User Rating: / 0
PoorBest 
Written by Redaksi Web   
Tuesday, 08 June 2010 07:35
Oleh: Dimas Bagus Wiranata Kusuma - suaraPembaca

Tepat pada 21 Mei 2010 Indonesia kembali merayakan 'Hari Kebangkitan Nasional' yang tanpa sadar telah memasuki usia 102 tahun. Semangat Kebangkitan nasional ini seharusnya digunakan sebagai refleksi yang tidak hanya sebatas sejarah. Namun, bertransformasi dalam bentuk semangat serta perenungan hakikat di balik kemunculannya yang apakah sudah dipahami serta ditunaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejatinya pencetusan hari kebangkitan ini adalah sebagai pendobrak tembok keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan kehinaan menuju gerbang kemakmuran dan kejayaan negara. Disadari atau tidak Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan memiliki potensi menjadi negara super power serta adidaya dengan berkaca pada segenap potensi dan kekayaan yang dimiliki.

Mungkin para pendahulu kita menginisiasi ide mengenai 'Hari Kebangkitan Nasional' ini sekaligus sebagai pengingat bahwa Indonesia adalah bangsa yang bilamana ia bangkit maka tak ada kuasa yang dapat menghentikannya dan berpeluang menjadi pemain politik ekonomi dunia yang strategis.

Namun demikian Kebangkitan tinggallah sebuah kata dan seremonial semata. Ianya lenyap dan senyap seiring pergantian masa dan pertukaran waktu karena ruh darinya tidak melekat pada sanubari setiap jiwa-jiwa rakyat Indonesia. Hilangnya penghayatan itu tentunya telah berimplikasi pada gerak langkah, kebijakan, dan sepak terjang Indonesia dalam kancah internasional.

Keperkasaan dan kegagahan sebagai bangsa yang 'gemah ripah loh jinawi' dan 'Jamrud Khatulistiwa serta “Negara Kepulauan Terbesar” seakan hampa dan tidak bersahaja. Harkat dan martabat sebagai bangsa memudar serta seakan ditelan oleh negara kecil seperti Singapura dan Malaysia.

Bagaimana bisa negara 17 ribu pulau ini gagal memberi makan rakyatnya sehingga rakyat Indonesia rela terlunta-lunta. Mengais-ngais rezeki sambil 'berpetak umpet' dengan pemerintah negeri Jiran.

Bahkan tak jarang, penduduk Indonesia yang bekerja di Malaysia, yang sebenarnya adalah duta negara, wakil negara, pembawa nama baik negara, dengan terang-terangan diseret-seret seperti budak dan tak manusiawi. Seakan negara ini menjadi singa kehilangan taring dan garuda kehilangan cakar yang bisa setiap saat dicampakkan oleh negara lain.

Kemudian muncul pertanyaan kita mengapa hal tersebut bisa terjadi? Barangkali, jawaban yang muncul sederhana, yaitu karena Indonesia tercinta telah teringgal jauh. Terutama dalam pembangunan ekonominya oleh negara jiran, seperti Malaysia. Perlu kiranya kita menelisik mengapa negara yang merdeka 12 tahun setelah Indonesia merdeka mengalami tingkat kemajuan begitu pesat? Di manakah kunci sukses mereka?

Masih tebal dalam ingatan, tahun 70-an pemerintah Indonesia giat mengirim tenaga guru ke Malaysia. Pada saat yang sama Malaysia belajar ke Indonesia dan secara massive Malaysia pun menyiapkan SDM-nya dengan menyekolahkan putra-putri terbaiknya ke luar negeri. Selain itu, seperti halnya Indonesia, Malaysia pun memiliki rencana pembangunan, yang lazimnya disebut 'Rancangan Malaysia' yang mana saat ini telah memasuki 'Rancangan Malaysia ke-10'.

Secara singkat, kunci sukses pembangunan ekonomi di Malaysia terletak pada dua faktor penting. Pertama, stabiltas politik domestik, dan kedua, komitmen pemerintah yang besar akan masa depan Negara.

Dalam konteks stabilitas politik, banyak pihak sepakat bahwa Malaysia berhasil meminimalkan benih-benih pertikaian dan konflik antar parpol. Dalam kurun waktu lebih 20 tahun, Barisan Nasional, yang merupakan gabungan dari beberapa partai telah mendominasi kekuasaan dan berhasil membungkam aksi lawan-lawan politiknya secara cerdas.

Ketangkasan dalam hal politik ternyata dijawab melalui berbagai program pro-rakyat yang benar-benar dirasakan dan tidak sekedar lipstik politik dan aksi cari simpati menjelang pemilu. Kita coba potret berbagai ambisius program negara di bawah nahkoda Perdana Menteri, Datuk Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak, di mana baru setahun berkuasa, telah me-launching program yang disebut 'The Government Transformation Program'.

Target program tersebut adalah 'semata-mata membuktikan bahwa pemerintah serius dan konsisten untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat dan mencegah negara jalan di tempat serta dalam upaya melanggengkan langkah Malaysia menuju kejayaan?

Lebih lanjut dia berkomitmen bahwa pemerintah tidak hanya bicara namun terus bekerja sungguh-sungguh dengan cara memperjuangkan terciptanya efisiensi pemerintahan dan sistem pelayanan publik yang optimal.

Ke semuanya diselaraskan melalui 'Instrument National Key Results Areas (NKRA?s)' di mana pengurangan kriminalitas, pemberantasan korupsi, peningkatan infrastruktur dasar pedesaan, peningkatan transportasi perkotaan, peningkatan standard sosial ekonomi rumah tangga miskin, dan peningkatkan kualitas pendidikan menjadi prioritas kebijakan negara.

Pendek kata biaya stabilitas politik dibangun bukan dengan lobi-lobi kosong tanpa kerja dan komitmen. Namun, dijawab dengan program kerja yang benar-benar untuk rakyat serta pemerintah benar-benar sebagai abdi dan pelayan rakyat. Stabilitas politik bukan dibangun dengan koalisi dan aksi boikot. Namun, direpresentasikan dengan kerja keras dan pengabdian maksimal untuk rakyat dan Negara.

Kedua, komitmen yang tinggi akan masa depan negara. Satu hal yang cukup salut dengan pemerintah Malaysia adalah karena tekad dan iktikad dalam membuat target dan sasaran jangka panjang dalam mengatur masa depan Negara.

Baru beberapa saat dilantik pada April 2009, Perdana Menteri secara lantang mengajukan konsep “1 Malaysia, Rakyat didahulukan, Pencapaian Diutamakan”. Selanjutnya, ini menjadi jargon, motto, dan semangat rakyat dan negara dalam menetapkan kebijaksanaannya. Kemudian, setelah setahun pemerintahan, Najib kembali memperkenalkan program yang sangat ambisius dan revolusioner yang diselaraskan dalam visi Malaysia 2020, yaitu “Model Ekonomi Baru”.

Dalam rumusannya, model ini akan digunakan sebagai sarana dalam menetapkan semua kebijakan negara. Khususnya pembangunan ekonomi, dengan hasil akhir yakni pada tahun 2020 Malaysia berhasil mengukuhkan dirinya sebagai “Negara Maju” dengan tingkat pendapatan RM42,000 atau USD 14,000. Fantastik, dan ke semuanya telah dirancang dan di-design secara terencana, terukur, dan matang dalam “Rancangan Malaysia ke-10”.

Berdasarkan data terakhir (2009), pendapatan per kapita per tahun Malaysia mencapai USD 7,000 atau RM 21,000. Sementara Indonesia berdasarkan data terakhir (2009) masih di level USD 4,000 per kapita per tahun.

Dua hal di atas telah sedikit membuka ruang bagi Malaysia untuk menjadi negara maju dan terdepan pada 2020. Di sisi lain, Indonesia yang notabene memiliki potensi jauh lebih besar seharusnya dapat mencapai tahapan yang lebih jauh lagi. Memang semuanya berpulang pada kesungguhan dan keseriusan para elite politik untuk benar-benar bekerja untuk rakyat dan Negara.

Tiba saatnya kepentingan politik praktis dan kekuasaan dikesampingkan demi kejayaan Republik tercinta. Tiba waktunya garuda itu terbang dengan sayap yang lebar dan cakar yang kuat serta pandangan yang tajam untuk menaklukkan dunia dan menebarkan keagungan dan keperkasaannya ke seluruh penjuru dunia. Semoga.
(Direktur Humas Islamic Economic Forum for Indonesia Development Kuala Lumpur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Blog Archive

Connect With Us

Instructions

Recomended

Label

Pengikut

About Me

Foto saya
yogyakarta, DIY, Indonesia
ayo belajar
Powered By Blogger

ARJUNA BELAJAR

belajar adalah mencari pengetahuan

Blog Archive

Cari Blog Ini

Pages