Jadikan Gempa Jepang Pelajaran
Jangan Panik, tak Ada Kaitan dengan Lempeng Mentawai
Padang Ekspres • Sabtu, 12/03/2011 13:10 WIB • * • 55 klik
Menurutnya, gempa Jepang berasal dari tumbukan lempeng Pasific dengan Asia di Samudera Pasific. Sedangkan pusat gempa yang diduga sebagai megathrust di perairan Siberut, Mentawai, terjadi akibat tumbukan lempengan Indo Australia dan Eurasia di Samudera Hindia.
”Jadi, jangan panik setelah menyaksikan gempa dan tsunami di Jepang, karena tidak ada kaitannya. Lebih baik saksikan bagaimana warga Jepang tenang menghadapi gempa dan tsunami, untuk jadi pelajaran,” ujar Ade Edward yang juga Manager Pusat Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar. Masyarakat Jepang saat menghadapi gempa tetap tenang. Mereka mau meninggalkan kendaraannya untuk evakuasi. ”Lihatlah, mereka tidak panik. Mereka mau mengikuti instruksi dan meninggalkan mobilnya untuk melakukan evakuasi,” katanya.
Dia berharap warga Padang dan semua daerah yang berpotensi gempa dan tsunami meniru apa yang dilakukan warga Jepang, yaitu meninggalkan kendaraan dan berlari dengan kaki ke daerah aman. Sebab, kata dia, sebesar apa pun jalan di Padang tidak akan mampu menampung semua kendaraan di tengah kepanikan dan jalan berbarengan. ”Mereka lebih menyayangi nyawa daripada harta, sementara kita memilih menyelamatkan harta, akibatnya nyawa dan harta bisa jadi melayang,” bebernya.
Hal senada disampaikan Andi Zulfikar, staf analis gempa bumi BMKG Padangpanjang. Menurutnya, kecil kemungkinan gempa tersebut mempengaruhi lempengan ataupun patahan di daratan dan perairan Sumbar. ”Jepang dan Indonesia itu jaraknya lebih 5.000 kilometer, beda lempeng dan patahan serta beda samudera, jadi tidak akan mempengaruhi kita,” ujarnya.
Namun begitu, dia mengimbau warga menyaksikan upaya evakuasi penanganan gempa dan tsunami di Jepang sebagai pelajaran. ”Mudah-mudahan warga bisa menjadikan pelajaran bagaimana terjadinya tsunami itu, bagaimana warga Jepang tetap tenang dalam rumah saat gempa terjadi karena mereka telah siap. Seharusnya itu yang kita tiru, bersiap dan terus membekali diri menghadapi ancaman tsunami,” ujarnya.
Akrab dengan Bencana
Sementara itu, analis kebencanaan dari Universitas Andalas Padang Nursyirwan Effendi mengungkapkan, pemerintah Jepang sejak dulu telah akrab dengan gempa dan tsunami. Sebab itu, mereka telah mempersiapkan diri menghadapi bencana besar itu mulai dari konstruksi bangunan, infrastruktur, kesiapan masyarakat dan upaya mitigasi lainnya. Bahkan, Jepang juga sudah membangun seawall dan shelter. ”Kesiapan Jepang itu terbukti dari minimnya korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tsunami yang menimpa Miyagi. Kesigapan pemerintah dan masyarakat Jepang dalam mitigasi dan penanggulangan bencana di negaranya harus ditiru oleh Sumbar. Sebab, Jepang dan Sumbar sama-sama berada dalam ancaman gempa dan tsunami,” tutur Nursirwan.
Meski sama-sama berada di daerah rawan bencana, tapi Sumbar sejauh ini belum memikirkan solusi efektif yang dibutuhkan masyarakatnya untuk mengurangi korban bencana. ”Pemda kita terkesan masih berpikir senjang untuk upaya mitigasi bencana. Bahkan, pemda masih berpikir matematis dalam upaya mitigasi dan penanggulangan bencana,” cetusnya.
”Biar ekonomis dan praktis, maka bangun shelter di atas gedung sekolah dan pemerintahan. Ini kan tampak bahwa pemerintah tidak mau repot dan cari gampang saja dalam mitigasi bencana. Ini soal nyawa orang loh, coba pikir lagi berapa sih daya tampung shelter itu,” tegasnya.
Di Jepang, pengelolaan upaya penanggulangan bencana telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, dengan dibentuknya Dewan Pusat Pengelolaan Penanggulangan Bencana (Central Disaster Management Council) yang dipimpin langsung Perdana Menteri dibantu menteri negara untuk Pengelolaan Penanggulangan Bencana (Minister of State for Disaster Management). ”Kalau dilihat tayangan di televisi, tampak Jepang siap menghadapi bencana tsunami. Terbukti dengan kesiapannya dalam membuka jalur evakuasi, bandara internasional dan ketersediaan listrik,” tuturnya.
Bahkan, Jepang menyediakan budget hingga triliunan yen untuk penelitian, pengembangan, kesiapsiagaan menghadapi bencana, pelestarian tanah nasional, pemulihan dan pembangunan kembali pascabencana. Agar segala kegiatan penanggulangan bencana dapat dilakukan secara cepat dan lancar, maka terus dilakukan peningkatan kemampuan berbagai fasilitas dan perlengkapan seperti satelit-satelit meteorologis, radar observasi cuaca dan seismometer; barang dan perlengkapan untuk tindak tanggap darurat, seperti perlengkapan pemadam kebakaran, tanki air, dan generator listrik.
Khusus untuk tsunami, dilakukan langkah-langkah untuk melindungi kawasan-kawasan pantai guna menghindari atau mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh tsunami, yakni diberlakukannya sistem peringatan dini secara cepat dan penyiaran informasi ramalan tsunami, juga pembangunan dan perbaikan tembok-tembok laut dan pintu air pada tembok laut. (a/mr)
”Jadi, jangan panik setelah menyaksikan gempa dan tsunami di Jepang, karena tidak ada kaitannya. Lebih baik saksikan bagaimana warga Jepang tenang menghadapi gempa dan tsunami, untuk jadi pelajaran,” ujar Ade Edward yang juga Manager Pusat Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar. Masyarakat Jepang saat menghadapi gempa tetap tenang. Mereka mau meninggalkan kendaraannya untuk evakuasi. ”Lihatlah, mereka tidak panik. Mereka mau mengikuti instruksi dan meninggalkan mobilnya untuk melakukan evakuasi,” katanya.
Dia berharap warga Padang dan semua daerah yang berpotensi gempa dan tsunami meniru apa yang dilakukan warga Jepang, yaitu meninggalkan kendaraan dan berlari dengan kaki ke daerah aman. Sebab, kata dia, sebesar apa pun jalan di Padang tidak akan mampu menampung semua kendaraan di tengah kepanikan dan jalan berbarengan. ”Mereka lebih menyayangi nyawa daripada harta, sementara kita memilih menyelamatkan harta, akibatnya nyawa dan harta bisa jadi melayang,” bebernya.
Hal senada disampaikan Andi Zulfikar, staf analis gempa bumi BMKG Padangpanjang. Menurutnya, kecil kemungkinan gempa tersebut mempengaruhi lempengan ataupun patahan di daratan dan perairan Sumbar. ”Jepang dan Indonesia itu jaraknya lebih 5.000 kilometer, beda lempeng dan patahan serta beda samudera, jadi tidak akan mempengaruhi kita,” ujarnya.
Namun begitu, dia mengimbau warga menyaksikan upaya evakuasi penanganan gempa dan tsunami di Jepang sebagai pelajaran. ”Mudah-mudahan warga bisa menjadikan pelajaran bagaimana terjadinya tsunami itu, bagaimana warga Jepang tetap tenang dalam rumah saat gempa terjadi karena mereka telah siap. Seharusnya itu yang kita tiru, bersiap dan terus membekali diri menghadapi ancaman tsunami,” ujarnya.
Akrab dengan Bencana
Sementara itu, analis kebencanaan dari Universitas Andalas Padang Nursyirwan Effendi mengungkapkan, pemerintah Jepang sejak dulu telah akrab dengan gempa dan tsunami. Sebab itu, mereka telah mempersiapkan diri menghadapi bencana besar itu mulai dari konstruksi bangunan, infrastruktur, kesiapan masyarakat dan upaya mitigasi lainnya. Bahkan, Jepang juga sudah membangun seawall dan shelter. ”Kesiapan Jepang itu terbukti dari minimnya korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tsunami yang menimpa Miyagi. Kesigapan pemerintah dan masyarakat Jepang dalam mitigasi dan penanggulangan bencana di negaranya harus ditiru oleh Sumbar. Sebab, Jepang dan Sumbar sama-sama berada dalam ancaman gempa dan tsunami,” tutur Nursirwan.
Meski sama-sama berada di daerah rawan bencana, tapi Sumbar sejauh ini belum memikirkan solusi efektif yang dibutuhkan masyarakatnya untuk mengurangi korban bencana. ”Pemda kita terkesan masih berpikir senjang untuk upaya mitigasi bencana. Bahkan, pemda masih berpikir matematis dalam upaya mitigasi dan penanggulangan bencana,” cetusnya.
”Biar ekonomis dan praktis, maka bangun shelter di atas gedung sekolah dan pemerintahan. Ini kan tampak bahwa pemerintah tidak mau repot dan cari gampang saja dalam mitigasi bencana. Ini soal nyawa orang loh, coba pikir lagi berapa sih daya tampung shelter itu,” tegasnya.
Di Jepang, pengelolaan upaya penanggulangan bencana telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, dengan dibentuknya Dewan Pusat Pengelolaan Penanggulangan Bencana (Central Disaster Management Council) yang dipimpin langsung Perdana Menteri dibantu menteri negara untuk Pengelolaan Penanggulangan Bencana (Minister of State for Disaster Management). ”Kalau dilihat tayangan di televisi, tampak Jepang siap menghadapi bencana tsunami. Terbukti dengan kesiapannya dalam membuka jalur evakuasi, bandara internasional dan ketersediaan listrik,” tuturnya.
Bahkan, Jepang menyediakan budget hingga triliunan yen untuk penelitian, pengembangan, kesiapsiagaan menghadapi bencana, pelestarian tanah nasional, pemulihan dan pembangunan kembali pascabencana. Agar segala kegiatan penanggulangan bencana dapat dilakukan secara cepat dan lancar, maka terus dilakukan peningkatan kemampuan berbagai fasilitas dan perlengkapan seperti satelit-satelit meteorologis, radar observasi cuaca dan seismometer; barang dan perlengkapan untuk tindak tanggap darurat, seperti perlengkapan pemadam kebakaran, tanki air, dan generator listrik.
Khusus untuk tsunami, dilakukan langkah-langkah untuk melindungi kawasan-kawasan pantai guna menghindari atau mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh tsunami, yakni diberlakukannya sistem peringatan dini secara cepat dan penyiaran informasi ramalan tsunami, juga pembangunan dan perbaikan tembok-tembok laut dan pintu air pada tembok laut. (a/mr)
[ Red/Administrator ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar